Pelestarian Motif Megalitik Tutari di Danau Sentani, Papua
Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah festival tahunan yang diselenggarakan sejak 2012. BWCF adalah wadah pertemuan bagi para penulis baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, dan aktivis budaya. Tiap tahunnya, BWCF berusaha menyajikan tema utama terpilih yang dianggap mampu mengajak para hadirin untuk kembali menyadari keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra dan kesenian nusantara. BWCF tahun 2021 hadir dengan tema: “Membaca Ulang Claire Holt: Estetika Nusantara: Kontinuitas & Perubahannya”.
Program Ceramah Umum yang akan saya ulas dalam resume ini berjudul: BWCF 2021 — CERAMAH UMUM ARKEOLOGI PAPUA : 21 NOV, “Pelestarian Motif Megalitik Tutari dalam Lingkup SDGs” dengan pembicara Hari Suroto, S.Hum. Dia adalah seorang arkeolog yang meneliti situs megalitik Tutari di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Hari mulai bertugas di Balai Arkeologi Papua sejak tahun 2009. Sejak 2010 fokus pada penelitian arkeologi prasejarah di kawasan Danau Sentani. Selain melakukan penelitian juga mengajar sebagai dosen luar biasa di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih pada mata kuliah Pengantar Arkeologi.
Hari melakukan penelitian arkeologi di daerah Danau Sentani, Kampung Doyo Lama, Kabupaten Jayapura. Penelitian ini berfokus pada sebuah situs megalitik bernama Situs Megalitik Tutari. Nama Tutari sendiri adalah nama sebuah suku atau etnis yang mendiami kawasan Danau Sentani pada zaman dulu. ‘Tu’ berarti matahari, dan ‘tari’ berarti lingkaran. Nama Tutari juga mengacu pada nama perbukitan di kawasan Danau Sentani tersebut. Situs megalitik ini berada sekitar 90–130 meter di atas permukaan laut. Situs megalitik Tutari terletak di bukit Tutari.
Peninggalan-peninggalan di situs megalitik sebagai berikut:
- Bongkahan batu yang ada lukisannya;
- Batu alam yang berbentuk seperti makhluk hidup tetapi tidak detail seperti arca;
- Peninggalan menhir;
- Batu-batu bulat yang menghubungkan danau Sentani dengan gunung Siklop (Cyclops).
Menurut pernyataan Hari, yang dimaksud dengan motif megalitik adalah motif-motif pada bongkahan batu. Situs megalitik Tutari terdapat 6 sektor yang terdapat kumpulan menhir dan kumpulan lukisan purba pada bongkahan batu-batu besar. Sektor 1 berisi lukisan flora dan fauna endemik Danau Sentani yang tidak ada di tempat lain, lukisan bentuk manusia, dan geometri. Sektor 3 sama-sama terdapat lukisan flora-fauna dan geometri. Namun satu hal yang unik di sektor tiga adalah terdapat motif hiu gergaji. Menurut Hari, adanya motif hiu gergaji di Tutari karena pada zaman dahulu daerah Papua merupakan samudera. Di sektor 4 terdapat lukisan benda-benda budaya (gelang) pada zaman dahulu dan flora-fauna. Dalam masyarakat Tutari, gelang dari batu digunakan sebagai maskawin.
Dilatarbelakangi dengan penelitian oleh Balai Arkeologi Papua pada 2010. Penelitian ini berusaha menghidupkan kembali motif-motif Megalitik Tutari menjadi karya seni masa kini pada lukisan kulit kayu. Pada awalnya, masyarakat Danau Sentani melukis di kulit kayu namun dengan motif yang mengikuti permintaan pasar/turis yang sesuai dengan masa kini. Hal ini karena wisatawan dari luar seprti Jakarta, Surabaya dan daerah lain lebih tertarik motif-motif warna yang kekinian. Seperti gambar tifa, honai, dan ciri khas Papua yang terkenal lainnya. Penelitian ini mencoba melukiskan kembali Situs Megalitik Tutari pada media kulit kayu tersebut. Dan respon positif justru datang dari wisatawan mancanegara yang menyukai motif Tutari karena motifnya yang orisinil dan berakar pada peninggalan prasejarah yang asli.
“Lukisan kulit kayu selama ini masih hanya membuat motif yang berbeda dengan Megalitik Tutari. Motif gambar yang mereka lukiskan disesuaikan dengan selera pasar/wisatawan. Misal wisatawan dari Jarkata dan Surabaya lebih suka motif Cendrawasih, honai, dll. Penelitian kami berusaha menghidupkan kembali motif-moitf Megalitik Tutari”
— Hari Suroto; 2021) (menit 19:03).
Selain lukisan, Hari juga bekerjasama dengan ISBI Papua menghidupkan kembali bentuk tarian secara virtual. Para mahasiswa menerapkan gerakan koreografi lingkungan. Mereka mengamati motif-motif yang ada di situs Tutari. Lalu mereka melukiskan di tubuh mereka (body painting). Jika di tubuh mereka digambar kura-kura, mahasiswa akan menari menyerupai kura-kura. Tarian menggunakan iringan musik yang ada di alam. Seperti menggunakan batu yang dipukul-pukul.
Sejak dahulu, masyarakat Danau Sentani juga memiliki tradisi pembuatan gerabah. Berbeda dengan yang ada di Jawa yang memakai pegangan untuk diangkat ke tungku, sedangkan di Danau Sentani tidak. Gerabah di Sentani lebih terbuka bagian pinggirnya. Seperti lukisan kulit kayu, sebelumnya motif lukisan di gerabah juga hanya terdapat motif garis-garis.
Dengan usaha penelitian oleh Hari bersama Badan Arkeolog, motif di gerabah menerapkan motif-motif Tutari. Hari juga menulis buku Mulok (Muatan Lokal) Tutari dan sudah diajarkan di sekolah pilot project (SMPN 1 Sentani, SMPN 2 Sentani, SMPN 6 Jayapura). Dalam buku itu terdapat materi, latihan soal, dan gambar-gambar terkait situs Megalitik Tutari. Hari juga ikut terjun ke lapangan selama 3 bulan mengajari anak-anak. Ada juga buku cerita bergambar yang berisi kekayaan situs Megalitik Tutari. Dia merasa bangga karena mewakili Papua dalam BWCF yang akhirnya disorot setelah dekade festival ini berjalan.
Materi yang dipaparkan oleh Hari Suroto menekankan betapa pentingnya untuk melestarikan budaya peninggalan di Nusantara. Meski dia sendiri bukan masyarakat asli Papua, Hari mendedikasikan dirinya dengan tekun dan semangat meneliti arkeologi situs Megalitik Tutari. Menurutnya, peninggalan-peninggalan di situs Megalitik Tutari merupakan kapsul waktu untuk mempelajari keadaan alam di masa lampau. Bukti-bukti prasejarah yang tersebar di Nusantara menjadi cerminan bagaimana manusia generasi awal menjalani kehidupan mereka.
Sekali lagi, poin penting yang dapat diambil dari ceramah umum Hari Suroto adalah menjaga sekaligus melestarikan budaya Nusantara. Pelestarian peninggalan sejarah juga seharusnya bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Usaha kreatif dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali budaya yang sudah tenggelam oleh perkembangan zaman.
Dengan SDGs (Sustainable Development Goals) diharapkan motif Megalitik Tutari dapat dilestarikan. Pemeliharaan situs megalitik Tutari juga harus bermanfaat atau berguna bagi masyarakat khususnya Danau Sentani, dan Kabupaten Jayapura pada umumnya.
Sumber
Suroto, H. (2021). Pelestarian Motif Megalitik Tutari dalam Lingkup SDGs. Dipresentasikan pada ceramah umum BWCF 2021 — CERAMAH UMUM ARKEOLOGI PAPUA : 21 NOV. https://www.youtube.com/watch?v=nX7iFvIGBXE. BWCF 2021. https://www.youtube.com/watch?v=nX7iFvIGBXE
BWCF 2021 — CERAMAH UMUM ARKEOLOGI PAPUA : 21 NOV
“Pelestarian Motif Megalitik Tutari dalam Lingkup SDGs” — Hari Suroto, S.Hum. (Balai Arkeologi Papua) Membaca Claire Holt: Estetika Nusantara Kontinuitas & Perubahannya: https://www.youtube.com/watch?v=nX7iFvIGBXE